Mukti-smansa Weblog

english is fun

Mathabah Foundation Home Page - Shaykh Yusuf Badat

IslamicPoem - Islamic Poems - IslamicPoem - Islamic Poems - Islamic Poetry

Future Islam → The Future For Islam

15 Agustus 2010

MyBd2M-2: Qum! Fahd Djibran (Rumi vs Rasul)

Terus terang, setelah tersentuh oleh segenap diri dan karya Jalaluddin Rumi, sebagaimana ku-posting pada MyBd2M-1 (Mengikat yang Bermakna di Dunia Maya edisi 1), aku jadi berpikir: sebegitu dahsyatnya Rumi menyentuh dan merengkuh rasa cinta kita kepadanya sehingga apakah tidak akan merintangi dan mengurangi kecintaan kita kepada Rasulullah Muhammad SAW?

Hemm, bisa jadi begitu. Tergantung pada kita sendiri dalam memberikan kelekatan rupa-rupa cinta itu pada porsi yang tepat. Namun, tak urung, aku jadi takut tersesat. Beruntung, aku menemukan seruan Qum! dari Fahd Djibran yang menyadarkanku betapa kelekatan kita kepada Rasul SAW itu tak tergantikan, tapi mesti diwujudkan dalam kadar yang bijak.

Aku salin-lengkap-kan saja di sini tulisan Djibran itu. Ini dia.


oleh Fahd Djibran pada 28 Mei 2009 jam 0:53

Judul Buku | Qum!
Penulis | Fahd Djibran
Penerbit | Penerbit MMP (Kelompok Juxtapose Korporasidea)
Tebal | ix + 162 hal (Paperback)
Dimensi | 16 cm x 16 cm
Terbit | Juni 2009
Jaringan Distribusi | TB Gramedia, Toga Mas, Gunung Agung, dan jaringan toko buku lain di seluruh Indonesia

Buku ini direncanakan mulai beredar pada awal Juni mendatang. Buku ini merupakan hasil perenungan saya di salah satu “kamar hati” yang saya miliki. Bertahun-tahun saya di sana, tapi cenderung hanya melahirkan kesendirian-kesendirian yang panjang. Sesekali berbuah puisi, tapi lebih sering saya hanya diam dan melamun—merenung. Kali ini, saya melahirkan sesuatu dari “kamar” itu; sebuah buku sederhana, yang seperti biasa saya tak tahu jenisnya apa, berjudul sederhana: Qum!

Buku ini, entah mengapa, menjadi sangat istimewa buat saya. Satu-satunya buku yang saya tuliskan dengan niat “ingin membuat buku”. Qum! pada mulanya hanyalah sebuah esai sepanjang tiga halaman yang saya posting beberapa bulan yang lalu di blog ini (bagi kamu yang belum membacanya, saya posting ulang esai itu pada bagian akhir catatan ini). Esai itu merupakan tanggapan pribadi saya atas beredarnya komik-komik dan gambar-gambar yang menghina Muhammad Rasulullah. Di saat orang-orang memilih untuk geram dan marah, kembali mengutuk dan menghina, meledakkan api, melempar batu dan membakar bendera; saya memilih jalan yang lain: saya ingin memperkenalkan Muhammad pada sebanyak mungkin orang, saya ingin membuat mereka dekat dan akrab, saya ingin mengajak mereka memasuki sebuah momen yang saya sebut sebagai “pengalaman Muhammad” (Muhammad experience). Dan buku ini, adalah ikhtiar kecil dari niat itu—upaya untuk mendatangi sebanyak mungkin orang, dari pintu ke pintu, dan bercerita sederhana tentang seseorang bernama Muhammad.

Di bagian belakang buku ini saya mengutip kata-kata Mohammad Iqbal, filsuf muslim terkenal itu, “Tuhan bisa tak aku percayai, tapi Muhammad tak!” Sepertimu, pertama kali mendengarnya, saya tersintak dan bertanya apakah Iqbal sedang menduakan Tuhan dan meletakkan Muhammad setingkat lebih tinggi? Pada mulanya saya ragu terhadap Iqbal, hingga saya baca buku-buku. Kitab-kitab. Riwayat dan hikayat. Saya datangi sejumlah guru untuk bertanya. Bertahun-tahun. Hingga sampailah saya pada sebuah peristiwa yang tak mungkin saya lupakan seumur hidup saya, peristiwa yang membawa saya pada momen kebangunan cinta dan rindu yang panjang dan sunyi pada Muhammad. Mungkin semacam pengalaman Muhammad, atau Muhammad experience tadi. Lalu bermuaralah saya pada kesimpulan sederhana yang sama sekali tak berbeda dengan Iqbal: Tuhan bisa tak aku percayai, tapi Muhammad tak!

Tentu kau bertanya, apakah saya sedang menduakan Tuhan dan meletakkan Muhammad setingkat lebih tinggi dari-Nya? Tentu saja tidak. Tapi sungguh, Tuhan bisa tak aku percayai tapi Muhammad tak! Sebab Muhammad terlalu sederhana, dekat, dan nyata untuk bisa ditolak. Keagungannya terletak sungguh-sungguh sebab ia menjadi sahabat terdekat siapa saja. Sebab Muhammad manusia biasa yang bisa sakit dan terluka, namun pada dirinyalah Tuhan menitipkan cinta dan kasih sayang semesta. Pada dirinyalah nilai-nilai Tuhan yang kompleks dan takterpermaknai menjadi sangat nyata, dekat, dan tak sanggup lagi kita tolak. Sebab Muhammad adalah kekasih abadi Tuhan—dan sekaligus kita. “Laulaka, laulaka,” Tuhan berkata dalam sebuah hadits-qudsi, “Kalau bukan karena engkau, kalau bukan karena engkau, Muhammad kekasihKu, sunggu tak akan Kuciptakan semesta.” Apapun tafsirmu tentang Tuhan, agama, dan apa saja yang melingkupinya, kau tak bisa menolak sosok Muhammad—sebagai manusia suci dengan cintanya yang abadi—yang mengajarkan kita alfa-beta kehidupan, alif-ba-ta cinta.

Kenapa saya menulis buku ini? Sungguh saya hanya ingin mengungkapkan kata sederhana: Qum! Bangunlah! Kita terlalu lama tertidur dalam lelap yang panjang, sehingga lupa mengakrabi cinta. Kita terlalu lama hidup dalam gelap sehingga lupa bagaimana caranya melayani cahaya. Qum! Bagunlah!

Akhirnya, buku ini hanyalah kerinduan-kerinduan panjang yang lahir dari keintiman-keintiman personal saya dengan sosok Muhammad. Pilihan saya akhirnya menulis dengan gaya bertutur surat, mungkin semacam monolog interior atau mungkin juga semacam ode. Terserah kau bagaimana menyebutnya. Seperti biasa: tak ada alur, tak ada cerita berkesinambungan, tak ada tokoh, tak ada setting. Tentukanlah sendiri. Yang ada hanyalah Muhammad, kau, hatimu dan pikiranmu. Bacalah, selamat “mengalami Muhammad”, selamat memasuki pengalaman Muhammad!

Salam hangat,
Fahd Djibran

Qum!
Esai, Fahd Djibran

Qum, qum yâ habîbi! Kam tanam?
(Bangun, bangunlah kekasihku! Berapa lama engkau tidur?)

Mungkin iman memang sesuatu yang absurd untuk dipetakan. Perjalanan keimanan bukanlah perjalanan yang linier, ia begitu fluktuatif. Kadang-kadang menurun seperti palung yang dalam, kadang-kadang melesat seperti sebuah lompatan kuantum. Hari ini bisa jadi kau membenci sesuatu, tetapi mungkin lain di hari yang lain.

Hinaan terhadap Nabi Muhammad kembali muncul. Seseorang boleh jadi sangat membenci Muhammad Rasulullah, seperti yang kita lihat belakangan di halaman-halaman web, tentang komik-komik yang menggambarkan Muhammad sebagai seorang amoral yang berusaha bersembunyi di balik firman Tuhan. Tetapi, kebencian bukanlah akhir dari segalanya, seseorang yang belum kita kenal itu bisa jadi hanya belum tahu apa-apa tentang Muhammad, lalu kebencian mengusai hatinya.

Kebencian bukanlah akhir dari segalanya, setidaknya itulah yang saya yakini ketika mengingat kembali kisah Umar Bin Khattab, juga Saint Paul dari Tarsus. Keduanya adalah contoh yang sempurna untuk menunjukkan bahwa kebencian hanyalah bagian dari absurditas iman yang kadang-kadang justru mengantarkan seseorang pada iman yang paling tinggi.

Umar bin Khattab semula adalah penentang Islam dan pembenci Muhammad yang paling keras. Bahkan ia berusaha membunuh Muhammad dan menghalang-halangi setiap orang yang menambatkan imannya pada keponakan Abu Thalib itu. Tetapi iman memang absurd, justru ketika ia mengenal Muhammad dari dekat, ia mengalami lompatan iman (leap of faith, meminjam istilah Kierkegaard) yang luar biasa. Pada gilirannya, dialah pembela Islam dan pelindung Muhammad yang paling keras. Umar Sang Pemberani, Singa Padang Pasir, begitulah Muhammad Rasulullah menjulukinya untuk keberanian dan pengorbanannya membela Islam dan melindungi Sang Rasul dari segala marabahaya.

Contoh lain juga mengabarkan hal serupa. Saul dari Tarsus, Silisia, seorang keturunan Yahudi pembenci Yesus dan penentang ajaran Kristiani. Pada gilirannya ia menjadi seorang apostle, seorang saint, yang sangat berpengaruh dalam sejarah persebaran iman Kristiani dan pembela Yesus nomor satu. Lalu ia dikenal kemudian sebagai Saint Paul atau Paulus, sosok penting dalam penyebaran iman Kristiani. Dalam kasus ini, lompatan iman kembali terjadi dengan absurditas yang sulit dimengerti.

Untuk menyebut nama lain, kita mengenal Mariam Jamila, Dr. Jenkins, dan lainnya yang mengalami hal serupa. Bahwa kebencian bukanlah akhir dari segalanya, kebencian mungkin hanyalah bentuk dari ketidaktahuan, atau ketidakingintahuan.

Lagi-lagi, penghinaan terhadap Muhammad Rasulullah muncul. Di tengah hiruk-pikuk orang-orang yang berteriak geram, saya hanya diam, sambil membayangkan Rasulullah yang agung itu sedang bertanya sendu: benarkan kalian mencintaiku? Ketika sampai pada pertanyaan itu, saya menimbang: haruskan saya marah dan turun ke jalan, membakar ban dan melempari apa saja—menuduh siapa saja? Ataukah saya harus memberitahu mereka, mengabarkan sosok Muhammad, yang di mata Goethe, adalah cahaya di atas cahaya. “Seorang manusia yang kompleks dan penuh kasih,” kata Karen Armstrong.

Bila Muhammad masih di sekitar kita, melihat penghinaan itu, ia mungkin akan mengatakan hal yang sama seperti saat ia dilempari batu dan dihinakan orang-orang di Thaif, dan Jibril yang sedih melihat itu menawarkan sesuatu pada Sang Nabi, “Bila Kau mau, Kekasih Allah, aku bisa membalikkan bumi dan menimpakan gunung kepada mereka.” Lalu Muhammad menjawab, “Tidak! Sesungguhnya mereka hanya belum tahu.”

Mereka hanya belum tahu, maka kebencian merambati hatinya dan meledakkan komik-komik itu di mana-mana. Andai saja mereka tahu, batin saya berbisik.

Maka, saya memutuskan untuk tidak meledakkan kemarahan di jalan-jalan, yang saya ingin lakukan hanyalah satu: saya ingin mengabarkan tentang siapa Muhammad Rasulullah pada sebanyak mungkin orang, pada siapa saja. Sebab, kejadian ini seperti menyentakkan kesadaran saya, seperti Rasulullah yang bertanya sendu: benarkah kalian mencintaiku?

No Religion is an Island. Tak ada agama yang menjadi pulau bagi dirinya sendiri, kata Abraham Heschel, seorang Rabi Yahudi. Mustahil bila agama-agama di dunia ini mengisolasi diri dari yang lain dalam menghadapi masalah-masalah kemanusiaan. Selama ini cara beragama kita seperti saling mengasingkan bahkan penuh persaingan. Kita masih terjebak pada logika kami dan mereka, aku dan kamu, seraya menjerembabkan mereka ke dalam penghinaan. Padahal sebuah agama tidak bisa hanya menjadi pulau yang bersendiri, tak bisa hanya mengandalkan kami, sebab mereka bisa jadi merupakan orang-orang yang menyempurnakan iman kita.

Jadi, lihatlah sisi lainnya. Mungkin komik-komik itu justru mengingatkan kita, benarkah kita sudah cukup mencintai Muhammad Rasulullah? Juga bisa jadi, komik-komik itulah yang menyadarkan kita bahwa selama ini betapa abai kita pada sosok Muhammad. "Saatnya menyebarkan cinta," itulah yang akan dikatakan Jalaluddin Rumi bila mengetahui semua ini. Bila mereka begitu rajin menghina dan mengolok-olok Muhammad Rasulullah, seberapa rajinkah kita memuji dan mengagungkannya?

Iman adalah sesuatu yang absurd dan tak bisa disimpulkan begitu saja. Bila kita mengabarkan cinta pada semua manusia, bila kita mengabarkan keagungan Muhammad pada semua manusia, orang-orang yang selama ini membencinya bisa jadi akan berbalik memendam cinta yang paling dalam. Bisa jadi, seperti Saul pada Yesus. Seperti Umar pada Muhammad.

“Qum, qum yâ habîbi kam tanam; An-naumu ‘alal ‘âsyiq haram. Bangun, bangunlah kekasihku, berapa lama engkau tidur, tidur diharamkan untuk para pencinta!” Kata Aflaki dalam Manaqib al-‘Arifin.



Tentu saja, kini, buku Djibran itu telah terbit. Bahkan dia sudah banyak menghasilkan buku-buku lain. Simak saja di blognya ini dan betapa Djibran memang layak diapresiasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar